20 February 2007
MENGANGKAT PERLAWANAN MARSINAH LEWAT TEATER
MENGANGKAT PERLAWANAN MARSINAH LEWAT TEATER
Dusun Nglundo, Nganjuk, tempat kubur Marsinah tiba-tiba menjadi hiruk pikuk oleh “bangkitnya” pahlawan perempuan, tumbal perburuhan Indonesia itu. Marsinah hidup lagi dalam pementasan teater berjudul Marsinah mencari keadilan. Teater yang dimainkan anggota Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) dengan personel KPK itu digelar untuk memperingati terbunuhnya Marsinah delapan tahun lalu. Dalam perayaan itu kawan-kawan SBK mengundang pula elemen lain, misalnya KPPD, AREK, SBR dan KPK. Peserta berangkat bersama-sama dari Sekretariat SBK (Jl Manukan Wetan 36) dengan memakai 2 bus Damri.
Pementasan dengan pemeran utama Nur dari KPK ini, dimaksudkan sebagai pembuka wacana bagi kawan-kawan anggota SBK yang masih baru yang belum tahu tentang sejarah Marsinah. Dalam kehidupan kawan-kawan SBK, Marsinah mempunyai kedudukan yang sangat istimewa karena gugurnya Marsinahlah yang telah memberi inspirasi lahirnya Serikat Buruh Kerakyatan. Bisa dikatakan bahwa tokoh spiritualitas kawan-kawan SBK adalah Marsinah. Maka pengenalan Marsinah sebagai tokoh pejuang buruh menjadi hal yang sangat penting bagi kawan-kawan SBK yang masih baru.
Pementasan yang hanya membutuhkan 2 kali latihan ini ternyata sangat memukau peserta peringatan. Bukan saja peserta dari Surabaya yang terisak-isak menyaksikan pementasan ini, tetapi banyak dari penduduk sekitar yang turut terisak-isak. Pementasan ini memang bukan bertujuan untuk membuat orang sekedar terharu, melainkan terlebih menujukkan bagaimana pedihnya sebuah perjuangan menegakkan keadilan. Hal ini digambarkan dengan bangkitnya Marsinah dari kubur karena penasaran dengan cara kerja aparatur penegak hukum di Indonesia yang tidak menuntaskan kasus kesewenangan ini. Dia datang ke jagat manusia untuk mencari keadilan. Perjalanan panjang yang penuh kepedihan dan jatuh bangun tersebut digambarkan dengan perjalanan Marsinah mulai dari halaman rumahnya menuju makamnya yang berjarak kurang lebih 1,5 km. Pementasan dilanjutkan di depan makam Marsinah.
Pementasan dengan 5 personel ini diakhiri dengan diskusi/ tanya jawab tentang kasus Marsinah. Peringatan ini dirangkai dengan tahlilan (doa bersama) dan tabur bunga. Acara sederhana ini telah mengundang perhatian aparat sekitar, sehingga terlihat ada beberapa orang aparat dan mobil polisi yang “mengamankan” acara ini.
Hal yang menarik untuk disikapi adalah pernyataan dari mBak Nila, kawan dari SBR yang menyatakan bahwa “teater dapat menjadi sebuah proses pendidikan yang sangat efektif bagi buruh”. Pernyataan ini kemudian berlanjut dengan diskusi kecil antara Mbak Nila dengan pemeran Marsinah tentang pemikiran-pemikiran ke depan untuk menghidupkan teater rakyat di dalam perburuhan.
-vero-
13 December 2006
Serikat Pekerja/Buruh
ada di link ini..
28 October 2006
“AKU SEMPAT MENITIKKAN AIR MATA”
Aku seorang gadis yang bekerja di daerah Tambak Sawah, sebut saja namaku “X”. Ingin aku berbagi cerita sehingga aku sampai menjadi buruh di Sidoarjo. Mungkin nasibku mirip dengan nasib buruh pada umumnya.
Selanjutnya, simak disini
19 October 2006
MENINGGALKAN NEGERI ORANG GILA
Orang gila di lampu penyeberangan
Rambutnya gimbal
Kumis dan jenggotnya jarang-jarang
Secara pribadi saya iri kepada orang gila. Mereka kelihatan bebas tanpa beban. Mereka bebas mau tidur di mana, mau mandi atau tidak, mau makan apa, mau berpakaian atau telanjang. Siapapun ingin bebas, anehnya tak seorangpun mau menjadi gila. Adakah sesuatu yang membedakan kebebasan orang gila dengan orang waras. Orang gila tak mempermasalahkan segala sesuatu bukan karena merasa bebas, tetapi karena lepas kontrol dan kehilangan sensor untuk rasa malu, rasa bersalah, dan rasa-rasa yang lain. Orang gila juga kehilangan orientasi untuk segala tindak-tanduk yang dilakukannya. Ia tak menyadari untuk apa tindakannya dilakukan. Rupanya inilah yang pada akhirnya menjadi ukuran orang itu waras atau tidak, yakni kontrol diri atau sensornya serta orientasi hidupnya.
selanjutnya, klik disini
13 October 2006
APAKAH AKU HARUS TETAP DIAM ???
Dimuat dalam buletin Provokashi edisi 02/I/Februari-Maret 2001
Kisah dalam edisi kali ini menampilkan hasil obrolan redaksi dengan Leksianus Bon, seseorang yang sudah cukup lama ikut dalam kegiatan KPK, yakni sejak tahun 1996. Kisah penuh perjuangan ini bermula ketika ia tamat SMP dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya, karena orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya untuk itu. Orang tuanya yang keseharian bekerja di ladang, tidak dapat menuruti cita-citanya untuk melanjutkan sekolah di seminari menengah.
“Kondisi orang tuaku tidak jauh berbeda dengan kondisi umum ekonomi masyarakat desa di Manggarai, yang hanya mengandalkan hasil ladang sebagai penghasilan mereka. Dari segi pangan warga di desaku tidak kekurangan. Jagung, ketela dan pisang sangat cukup untuk makanan sehari-hari. Tetapi untuk mendapatkan uang, hasil yang laku dijual hanyalah kopi. Sementara kopi hanya ada pada musim panen saja. Dalam musim panen, yakni setahun sekali harga kopi kering berkisar Rp 5000 per kilogram. Biasanya kami mendapatkan hasil panen sekitar 30 kg. Kadang-kadang saja kami dapat memetik sekitar 100 kg. Kondisi ekonomi keluargaku inilah yang kemudian membuat niatku makin bulat untuk pergi merantau.
Selanjutnya, simak disini
11 October 2006
SIAPA TAKUT !!!
Dalam edisi kali ini redaksi mengajak bincang-bincang bersama Bang Sebastianus, ketua KPK cabang Sidoarjo. Dalam kesempatan ini Pak Tua, panggilan akrap Bang Sebastianus bercerita tentang pengalamannya menjalani dinamika hidup di Surabaya yang keras.
Sebastianus namaku. Aku pergi meninggalkan rumahku di Flores tanpa sebuah perencanaan yang panjang. Kepergianku lebih merupakan bentuk pemberontakanku terhadap keadaan yang menekanku, jadi bukan karena suatu motivasi tertentu. Sejak aku masih SMP aku sudah jauh dari orang tua dan setelah lulus SMA tahun 1991 ingin sekali aku hidup merantau. Maka ketika aku mau diserahi tanggung jawab untuk turut mengatur keluarga, aku berontak. Tahun 1993 aku memutuskan untuk pergi dari rumah, tidak mau di kampung. Tetapi aku tidak merencanakan mau merantau ke Jawa atau Kalimantan. Pada orang tuaku hanya pamit bahwa aku merantau. Aku singgah di Sumbawa selama satu minggu. Kawanku menanyakan ke mana aku mau merantau ketika kami sampai di agen bis. Aku bilang “terserah saja” Aku tidak punya rencana. Saat itu ada dua pilihan Ujung Pandang atau Surabaya. Akhirnya temanku yang memutuskan dan membelikan tiket ke Surabaya. Dengan bekal Rp 200.000,- aku melanjutkan perrjalanan ke Surabaya.
Selanjutnya, simak disini
09 October 2006
Buruh Terjajah di Negerinya sendiri
Bicara tentang kemerdekaan, bagi kita tentu terpikir juga tentang kemerdekaan Buruh. Hari kemerdekaan yang dianggap sakral oleh seluruh rakyat Indonesia ternyata tidak banyak memberikan arti bagi Buruh. Sejak era pemerintahan Sukarno sampai era Suharto, Buruh selalu menjadi kelompok yang termarginalkan. Reformasi yang sudah digulirkan beberapa tahun yang lalu mungkin hanya isapan jempol saja soal kemerdekaan buruh. Dalam bidang apapun bisa dikatakan bahwa Buruh masih terkekang. Ketidakmerdekaan Buruh itu terutama dalam hal mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Walaupun ada Permen No 05 tahun 1998 dan UU No 21 tahun 2000 tentang SP/SB, tapi pada prakteknya kedua aturan tersebut pada prakteknya masih terdapat banyak pembatasan-pembatasan.
Selanjutnya klik disini..